Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Muslim Idial

Jiwa Kesatria Melahirkan Citra yang Baik

Jiwa Kesatria Melahirkan Citra yang Baik

Manusia ibarat logam-logam yang berbeda kualitas dan tabiat masing-masingnya. Perbedaan tabiat merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah pada makhluk-Nya. Karena itu, kita melihat sebagian manusia ada yang berakhlak baik dan berkepribadian mulia. Ia pun tampil menjadi seorang yang cerdas, brilian, dan tegar menghadapi berbagai kesulitan. Ia menjalankan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Ia bahkan dengan sukarela melakukan kerja-kerja besar, dan kita melihatnya selalu tahan banting, penuh kesabaran, dan dengan senang hati mengemban tugas yang ia pikul. Ia berakal cerdas, berpikiran jenius, dan beride brilian. Inilah yang disebut dengan ksatria berbudi luhur.

Keberadaan sifat ini pada diri seseorang mengindikasikan obsesinya yang tinggi, sekaligus ketinggian dan kemuliaan jiwanya. Jiwa yang mulia akan secara otomatis mencari adab-adab yang agung dan menggemari perilaku-perilaku yang mulia pula. Sedangkan obsesi yang tinggi akan mendorong untuk maju, menjauh dari kehinaan, dan menghindar dari cacat perilaku.

Tidak akan menjadi kesatria, pemberani, dan berkedudukan tinggi kecuali orang yang merasakan ringan segala kesulitan demi mencapai kemuliaan, merasakan kecilnya kenikmatan sementara demi menjauhi cela dan kehinaan. Oleh karenanya, sebuah pepatah mengatakan: "Pemimpin sebuah kaum adalah orang yang paling sengsara di antara mereka."

Nabi Adalah Penghulu Para Kesatria

Sesungguhnya Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah sebaik-baik manusia yang memiliki sifat mulia ini. Anas ibnu Mâlik—Semoga Allah meridhainya—berkata, "NabiShallallâhu `alaihi wasallamadalah manusia paling baik, paling dermawan, dan paling pemberani. Pada suatu malam, penduduk Madinah dikejutkan oleh sebuah suara. Mereka pun segera menuju ke arah suara itu. Tiba-tiba, NabiShallallâhu `alaihi wasallamdatang dari arah suara itu menghadap mereka. Beliau ternyata telah mendahului semua orang menuju suara itu. Beliau berseru, "Tenang, tenang!" Beliau berada di atas kuda milik Abu Thalhah, kuda itu tanpa pelana, di punggung beliau terdapat sebilah pedang. Beliau bersabda, "Aku melihat ternyata itu hanya suara laut." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Dalam peristiwa-peristiwa genting, beliau menampakkan keberanian dan kekesatriaan yang tidak pernah terbayangkan. Dalam perang Hunain, ketika orang-orang musyrik menang di awal pertempuran, dan mereka telah mengepung Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, beliau pun turun dari kuda dan memerangi mereka sambil berseru, "Akulah Nabi, bukan dusta. Akulah putra Ibnu Abdil Muththalib." Sehingga Al-Barâ'—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Belum pernah terlihat ada manusia seberani beliau pada hari itu."

Dalam perang Uhud, ketika banyak kaum muslimin yang mundur saat tersebar berita beliau terbunuh, dan orang-orang musyrik mencari-cari beliau untuk mereka bunuh, beliau justru menampilkan diri di tengah manusia sambil berteriak, "Akulah Rasulullah". Walaupun teriakan itu pasti akan menarik perhatian kaum musyrikin ke arah beliau, tetapi itulah keberanian dan kekesatriaan hakiki dalam bentuknya yang paling menakjubkan.

Nabi Musa—`Alaihis salâm

Kita juga dapat melihat teladan mulia dalam hal keberanian dan kekesatriaan dari Nabi Musa—`Alaihis salâm. Ia meninggalkan negerinya menuju Madyan dengan penuh kesedihan dan lelah luar biasa. Akan tetapi, dalam kondisi seperti itu, diceritakan oleh Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—dalam firman-Nya (yang artinya): "Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternak mereka), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menambatkan ternak mereka. Musa bertanya, 'Apakah maksud kalian berbuat begitu?' Kedua wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami) sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternak mereka), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut usia'. Maka Musa pun memberi minum ternak itu untuk (menolong) mereka berdua, kemudian ia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, 'Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku'." [QS. Al-Qashash: 23-24]

Generasi Salaf Dididik di Atas Sifat kesatria

Islam telah mendidik umatnya di atas kemuliaan akhlak, sehingga mereka pun sukses mendaki puncak tertinggi. Mereka berhasil menorehkan suri teladan mengagumkan dalam berbagai perilaku terpuji, seperti mendahulukan kepentingan orang lain, rela berkorban, dan penuh kesatria. Salah satu teladan tersebut dikisahkan oleh Hudzaifah Al-`Adawi. Ia bercerita, "Pada saat perang Yarmuk, aku bergegas mencari keponakanku dengan membawa sedikit air. Di dalam hati, aku bergumam, 'Jika ia masih memiliki nafas, aku akan memberinya minum dan mengusap wajahnya dengan air itu. Aku pun berhasil menemukannya (dalam keadaan terluka parah). Aku bertanya kepadanya, 'Maukah engkau aku beri minum?' Ia memberi isyarat setuju. Namun tiba-tiba ada seseorang (prajurit lain) yang berteriak di dekatnya. Keponakanku itu pun memberi isyarat agar aku pergi (memberikan air) kepada orang itu. Aku mendatangi orang itu, dan ternyata ia adalah Hisyâm ibnul `Âsh. Aku bertanya kepadanya, 'Maukah engkau aku beri minum?' Tiba-tiba terdengar seorang (prajurit lain) yang berteriak di dekatnya. Hisyâm memberi isyarat agar aku segera memberi minum orang itu. Aku pun mendatangi orang itu. Sayangnya, ia telah menghembuskan nafas terakhir. Lalu aku kembali ke Hisyâm dan ternyata ia juga telah meninggal. Kemudian aku bergegas kembali menemui keponakanku, dan ternyata ia juga telah gugur. Semoga rahmat Allah terlimpah untuk mereka semua."

Contoh lain yang layak ditiru dalam hal kekesatriaan adalah kisah yang diceritakan oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam sebuah hadits, tentang seorang laki-laki Bani Israil. Sifat kesatria telah mendorong orang ini untuk melakukan perbuatan yang terpuji. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—itu, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallammenceritakan bahwa suatu ketika, seorang laki-laki dari Bani Israil meminjam uang seribu dinar kepada seseorang. Si pemberi pinjaman berkata, "Datangkanlah para saksi yang akan mempersaksikan peminjaman ini!" Si peminjam menjawab, "Cukuplah Allah sebagai saksi." Si pemberi pinjaman berkata lagi, "Datangkanlah seorang penjamin!." Tapi si peminjam menjawab, "Cukuplah Allah sebagai Pemberi jaminan." Si pemberi pinjaman pun berkata, "Engkau benar." Lalu ia memberikan pinjaman sampai batas waktu yang disepakati. Si peminjam itu pun pergi berlayar di laut untuk mencari kebutuhannya. Ketika kebutuhannya telah terpenuhi, ia mencari kapal yang dapat ditumpangi untuk mendatangi si pemberi pinjaman, guna membayar pinjamannya pada waktu yang telah disepakati itu. Sayangnya, ia tidak menemukan satu kapal pun untuk kembali. Akhirnya, ia mengambil sebilah kayu dan melobanginya, lalu memasukkan uang seribu dinar ke dalamnya beserta secarik surat untuk temannya itu. Ia kemudian membawa kayu itu ke laut, seraya berdoa, "Ya Allah, Engkau Mahatahu bahwa aku telah meminjam uang seribu dinar kepada si fulan. Ia meminta jaminan kepadaku, tapi aku menjawab: 'Cukuplah Allah sebagai Pemberi jaminan', dan ia pun ridha. Lalu ia meminta saksi, tapi aku menjawab: 'Cukuplah Allah sebagai saksi,' dan ia pun menerima. Sungguh aku telah berusaha keras mencari kapal untuk mengirim uang miliknya ini, namun aku tidak mendapatkannya. Kini, aku ingin menitipkannya kepada-Mu'." Lalu ia melemparkan kayu itu ke laut. Setelah itu, ia kembali mencari kapal agar dapat pulang ke negerinya. Pada suatu hari, sahabatnya yang meminjamkan uang itu keluar dari rumahnya untuk mencari kapal yang mungkin datang membawa uang kiriman dari si peminjam. Tapi ia hanya menemukan sebilah kayu yang berisi uang itu. Ia mengambilnya untuk dijadikan kayu bakar istrinya di rumah. Ketika ia membelah kayu itu, ia menemukan uang dan secarik surat. Beberapa waktu kemudian, datanglah si peminjam dengan membawakan uang seribu dinar. Ia berkata, "Demi Allah, aku telah bersusah payah untuk mencari kapal untuk membawakan uangmu, tapi aku tidak mendapatkan satu kapal pun sebelum kapal yang aku tumpangi ini." Pemberi pinjaman bertanya, "Apakah engkau pernah mengirim sesuatu untukku?" Si peminjam pun menjawab, "Sudah aku katakan bahwa aku tidak menemukan satu kapal pun sebelum kapal yang aku tumpangi ini." Si pemberi pinjaman berkata, "Sesungguhnya Allah telah menyampaikan kepadaku apa yang engkau kirimkan melalui kayu itu." Akhirnya, si peminjam pun kembali membawa uang seribu dinar miliknya itu."

Akhirnya, saudaraku, masih ingatkan Anda tentang sebab penaklukan kota `Amûriyyah? Sebabnya adalah ikatan ukhuwwah islamiyyah, serta keberanian dan jiwa kesatria yang mengisi hati kaum muslimin pada masa itu. Ketika seorang muslimah yang ditawan oleh Romawi di daerah ini meneriakkan panggilannya, jiwa-jiwa dan pedang kaum muslimin pun segera menjawabnya. Mereka akhirnya berhasil menaklukkan kota `Amûriyyah. Khalifah Al-Mu`tashim pun mendatangi wanita muslimah itu seraya berkata, "Aku datang memenuhi panggilanmu, wahai wanita yang memanggil."

Artikel Terkait