Islam Web

  1. Fatwa
  2. ADAB DZIKIR DAN DOA
  3. Akhlak Muslim Ideal
  4. Mensucikan jiwa
Cari Fatwa

Rasa Takut dan Harap Adalah Tanda Keimanan

Pertanyaan

Saya seorang pemuda berumur 30 tahun, tekun beribadah dan menjalankan syiar-syiar Agama. Saya juga takut kepada Allah. Masalahnya, saya pernah berjanji kepada Allah untuk tidak melakukan sebuah dosa, tetapi kemudian Syetan berhasil memperdaya saya. Saya sekarang merasa berada di dalam adzab dan kesengsaraan. Saya ingin menebus dosa dan pelanggaran saya terhadap janji itu. Bagaimana hati saya dapat tenang, sementara saya telah melanggar janji saya kepada Allah? Saya mohon nasihat Anda, bagaimana cara agar saya selamat dan mendapat rahmat Allah? Apakah saya harus bersedekah? Apakah saya harus mengerjakan shalat Tahajjud? Saya telah memperbanyak istighfar dan meminta ampun kepada Allah, tetapi hati saya seakan hancur, karena hati saya mencintai Allah dan tidak mampu membayangkan adzab Allah menimpanya.

Jawaban

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Rasa takut pada Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—adalah tanda kesungguhan iman, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya (yang artinya): "Karena itu, janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah pada-Ku, jika kalian benar-benar orang beriman." [QS. Âli `Imrân: 175]

Sebaliknya, rasa aman (tidak takut) akan datangnya pembalasan dan adzab Allah yang pedih adalah ciri-ciri orang yang merugi, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya (yang artinya): "Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi." [QS. Al-A`râf: 99]

Maka kewajiban seorang mukmin adalah senantiasa berhati-hati terhadap datangnya hukuman Allah di Dunia dan Akhirat. Bukti paling besar rasa takut seorang hamba pada Allah adalah ketika ia sangat menjauhi maksiat dan sangat waspada agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang dimurkai Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ.

Akan tetapi seorang mukmin harus mengetahui bahwa rasa takut pada Allah baru dipandang terpuji apabila rasa tersebut mendorongnya untuk melakukan amal shalih. Adapun jika rasa takut itu membuat seseorang merasa putus asa dari mendapatkan rahmat dan ampunan-Nya, maka ini adalah perkara yang tercela, bukan terpuji.

Dengan demikian, kami berpesan kepada Saudara penanya, jika Anda telah terjatuh ke dalam maksiat maka bersegeralah bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sungguh-sungguh dan lengkap dengan rukun-rukunnya, dengan meninggalkan jauh-jauh maksiat tersebut, menyesali dosa yang telah diperbuat, dan berazam (bertekad kuat) untuk tidak kembali melakukannya di masa mendatang. Barang siapa yang bertaubat dengan taubat seperti itu niscaya Allah akan menerima taubatnya.

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah mengabarkan kepada kita bahwa Allah senang melihat taubat hamba-Nya. Allah senang bukan lantaran Dia butuh kepada hamba-Nya, karena Allah Mahatinggi dari hal semacam itu. Tetapi Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—memang senang akan hal tersebut atas dasar kedermawanan. Allah senang melihat taubat seorang hamba untuk memuliakan dan memberinya karunia karena ia telah bertaubat.

Apabila seorang hamba telah melakukan taubat dengan sungguh-sungguh, maka hendaklah ia berbaik sangka pada Allah, bahwa Allah tidak akan menolak taubatnya dan tidak akan menyia-nyiakan amalannya, karena Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Tetapi semua itu harus tetap disertai oleh rasa takut di dalam hati, karena mungkin saja masih ada kekurangan dalam taubatnya itu. Jadi, kebaikan seorang muslim terwujud dengan berkumpulnya rasa takut dan rasa harap di dalam hatinya.

Kemudian, amal shalih yang Anda lakukan setelah berbuat dosa adalah sesuatu yang baik, dan Anda harus menambahnya lagi. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—telah berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya perbuatan baik itu menghapus dosa-dosa kesalahan." [QS. Hûd: 114]. Anda juga harus menyadari bahwa tidak ada dosa yang besar di hadapan kedermawanan dan ampunan Allah, selama seorang hamba telah bertaubat dari dosa tersebut.

Wallâhu a`lam.

Fatwa Terkait