Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Jika si ibu mendapat rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhân karena khawatir terhadap keselamatan dirinya, maka tidak ada kewajiban yang harus ia tunaikan selain meng-qadhâ' puasa itu. Namun jika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap keselamatan janinnya, maka selain meng-qadhâ', ia juga berkewajiban membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ia tinggalkan, sebagaimana pendapat banyak ulama.
Adapun jumlah fidyah yang harus ia keluarkan adalah satu mud makanan atau sekitar 750 gram makanan, untuk setiap hari puasa yang ia tinggalkan. Sementara menurut mazhab Hambali, ia harus mengeluarkan satu mud gandum, atau setengah shâ` (dua mud) dari selain gandum, atau sekitar 1,5 kilogram. Pendapat kedua ini jelas lebih hati-hati.
Namun tidak sah mengeluarkan fidyah dengan harga makanan tersebut (uang), menurut jumhur ulama, tetapi harus dalam bentuk makanan untuk orang miskin, guna menjalankan perintah Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan orang-orang yang sangat berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) wajib membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin." [QS. Al-Baqarah: 184]
Jika si ibu wajib membayar fidyah, apakah yang wajib mengeluarkannya adalah si ibu ataukah wali si janin? Masalah ini menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian mereka berpendapat bahwa fidyah itu adalah kewajiban di pundak wali si janin, dan pendapat ini dipandang kuat oleh mazhab Hambali. Sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa fidyah itu adalah kewajiban si ibu, dan ini dipandang kuat oleh mazhab Syafi`i. Tetapi jika wali si janin mambayarkan fidyah untuk si ibu dengan izinnya, maka itu sah menurut seluruh ulama.
Adapun mazhab Syafi`i, sebagaimana telah kami sebutkan, menyatakan bahwa fidyah adalah kewajiban pada harta orang yang menerima rukhshah (yaitu ibu), dan barangkali pendapat inilah yang lebih kuat—Insyâ'allâh.
Dalam kitab Mughni Al-Muhtâj dijelaskan: "[Atau] keduanya (ibu hamil dan ibu menyusui) khawatir [terhadap janin] saja, misalnya ibu hamil khawatir anaknya keguguran, atau ibu menyusui khawatir air susunya kekurangan jika berpuasa, sehingga berbahaya bagi si bayi [maka keduanya diwajibkan mambayar fidyah] dari harta mereka sendiri, disertai dengan kewajiban meng-qadhâ puasa itu [menurut pendapat yang paling kuat], meskipun keduanya dalam keadaan musafir atau sakit."