Sa'id ibnu Jubair lahir pada masa kekhalifahan Imam Ali ibnu Abi Thalib—Semoga Allah meridhainya, di kota Kufah. Ia tumbuh sebagai seorang yang mencintai ilmu, serta aktif mencari dan mengambil ilmu dari sumbernya. Ia belajar membaca Al-Quran kepada Abdullah ibnu Abbas. Ia juga menyerap ilmu Fikih, Tafsir, dan hadits darinya. Di samping itu, ia meriwayatkan hadits dari lebih dari sepuluh orang shahabat. Dalam masalah keilmuan, ia berhasil mencapai derajat yang tidak dicapai oleh teman-temannya.
Khushaif ibnu Abdurrahman berkata tentang murid-murid Ibnu Abbas, "Muridnya yang paling tahu tentang Al-Quran adalah Mujahid. Yang paling ahli tentang haji adalah 'Athâ`. Yang paling pandai tentang masalah talak adalah Sa'id ibnul Musayyab. Dan yang paling tahu tentang semua ilmu ini adalah Sa'id ibnu Jubair."
Abdullah ibnu Abbas mengizinkan Sa'id berfatwa, meskipun ia ada bersamanya. Ketika masyarakat Kufah datang kepadanya untuk meminta fatwa, Abdullah ibnu Abbas berkata, "Bukankah di tengah kalian ada Ibnu Ummid Dahmâ`?" Maksudnya Sa'id ibnu Jubair.
Sa'id ibnu Jubair adalah seorang yang rajin beribadah. Setiap tahun ia melakukan haji dan umrah. Setiap hari ia selalu melaksanakan shalat malam, dan banyak berpuasa di siang hari. Tidak jarang ia mengkhatamkan Al-Quran dalam waktu kurang dari 3 hari. Ia termasuk orang yang menantang Al-Hajjâj ibnu Yusuf Ats-Tsaqafi, salah satu gubernur kerajaan Bani Umayyah. Al-Hajjâj pun suatu ketika memerintahkan anak buahnya menangkap Sa'id. Ketika Sa'id sampai di hadapan Al-Hajjâj terjadilah dialog antar mereka, sebagai berikut:
Al-Hajjâj : "Siapa namamu?"
Sa'id : "Sa'id ibnu Jubair." (Dalam bahasa Arab, Sa'id berarti bahagia, dan Jubair berarti pembalut luka).
Al-Hajjâj : "Bukan, tapi engkau adalah Syaqiy Ibnu Kusair." (Syaqiy berarti sengsara, dan Kusair berarti luka)
Sa'id : "Ibuku lebih tahu tentang namaku daripada engkau."
Al-Hajjâj : "Celakalah engkau dan celakalah ibumu."
Sa'id : "Perkara ghaib bukan engkau yang mengetahuinya."
Al-Hajjâj : "Aku akan memasukkanmu ke dalam api yang menyala-nyala."
Sa'id : "Seandainya aku tahu bahwa engkau sanggup melakukan itu, pasti aku telah menjadikanmu sebagai tuhan."
Al-Hajjâj : "Apa pendapatmu tentang Muhammad?"
Sa`id : "Beliau adalah Nabi kasih sayang dan pemimpin pembawa petunjuk."
Al-Hajjâj : "Apa pendapatmu tentang Ali ibnu Abi Thalib, apakah ia di Surga atau di Neraka?"
Sa'id : "Seandainya aku pernah memasukinya, dan aku melihat siapa yang ada di dalamnya, tentu aku bisa mengetahui itu."
Al-Hajjâj : "Apa pendapatmu tentang para khalifah (dari Bani Umayyah)?"
Sa'id : "Aku bukanlah orang yang bertanggung jawab tentang mereka."
Al-Hajjâj : "Siapa di antara mereka yang paling engkau sukai?"
Sa'id : "Yang paling diridhai oleh Tuhanku."
Al-Hajjâj : "Siapa yang paling diridhai oleh Tuhan?"
Sa'id : "Hanya Dia yang mengetahuinya."
Al-Hajjâj : "Engkau enggan untuk jujur kepadaku."
Sa'id : "Aku tidak suka berbohong kepadamu."
Al-Hajjâj : "Kenapa engkau tidak pernah tertawa?"
Sa'id : "Hati tidak sama. Bagaimana mungkin tertawa seorang makhluk yang diciptakan dari tanah, dan tanah itu bisa dibakar api?"
Sa'id telah mendermakan hidupnya untuk Islam. Ia hanya takut kepada Allah. Ia lahir di Kufah dan menebarkan ilmunya yang bermanfaat kepada orang banyak. Ia ajarkan kaum muslimin hakikat Agama dan dunia mereka. Jadilah ia salah seorang imam besar dalam bidang Fikih di masa pemerintahan Dinasti Umayyah. Abdullah ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya—bahkan mengakui keunggulannya dalam Fikih dan keilmuan. Jika ada masyarakat Kufah datang meminta fatwa kepadanya, ia selalu mengatakan, "Bukankah Ibnu Ummid Dahmâ` ada di tengah kalian?" Maksudnya adalah Sa'id ibnu Jubair.
Sa'id ibnu Jubair memiliki lidah yang jujur dan hati yang kuat. Ia tidak takut kepada para penguasa tiran, dan tidak pernah berhenti menyuarakan kebenaran. Baginya, orang yang mendiamkan kebenaran adalah Syetan yang bisu. Al-Hajjâj ibnu Yusuf kemudian menangkapnya, setelah menghujaninya dengan berbagai tuduhan dan fitnah. Al-Hajjâj bertekad ingin segera menghabisinya. Namun dengan berbagai ancaman pun, ternyata ia tetap tidak mampu membuat lidah Sa'id kelu untuk menyampaikan kebenaran. Karena Sa'id benar-benar merupakan sosok seorang mukmin yang memiliki kekuatan iman luar biasa. Ia menyadari bahwa hidup, mati, dan rezeki, semuanya di tangan Allah. Tidak ada yang bisa mengendalikan itu semua selain-Nya.
Kemudian Al-Hajjâj menggunakan cara lain dalam menghadapi Sa'id, dengan harapan akan dapat menggoyahkannya dari kebenaran. Al-Hajjâj merayunya dengan harta dan kesenangan dunia. Ia meletakkan tumpukan harta di hadapan Sa'id. Namun ternyata Imam yang agung ini justru memberi Al-Hajjâj pelajaran yang begitu telak. Ia berkata, "Wahai Al-Hajjâj, jika engkau mengumpulkan harta ini untuk menjaga diri dari kesulitan hari Kiamat, maka itu adalah sebuah kebaikan. Tapi jika tidak, ingatlah bahwa satu kesulitan saja pada hari itu sudah membuat seorang wanita menyusui lupa kepada anak yang disusuinya."
Ia mengajarkan kepada Al-Hajjâj bahwa harta adalah sarana terbesar untuk memperbaiki amal dan meraih kebaikan Akhirat, jika pemiliknya mengumpulkannya dengan cara yang halal untuk menjaga diri dari kesulitan di hari Kiamat. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak lagi berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." [QS. Asy-Syu`arâ': 88-89]
Untuk kesekian kalinya, usaha Al-Hajjâj gagal menghentikan Sa'id. Karena ia bukanlah seorang penyembah dunia. Bukan pula seorang penjual Agamanya demi kesenangan dunia. Setelah semua usahanya tidak membuahkan hasil, Al-Hajjâj pun mengancam Sa'id dengan pembunuhan. Dalam hal ini, terjadilah dialog antara mereka berdua sebagai berikut:
Al-Hajjâj : "Celakalah engkau, Sa'id!"
Sa'id : "Celakalah orang yang dijauhkan dari Surga, lalu dimasukkan ke dalam Neraka."
Al-Hajjâj : "Cara seperti apa yang engkau ingin aku gunakan untuk membunuhmu?"
Sa'id : "Pilihlah sendiri, wahai Al-Hajjâj. Demi Allah, tidaklah engkau membunuhku dengan satu pembunuhan melainkan di Akhirat nanti aku akan membunuhmu dengan cara itu pula di Akhirat."
Al-Hajjâj : "Apakah engkau ingin aku maafkan?"
Sa'id : "Jika ada kemaafan, maka itu datangnya dari Allah. Sedangkan engkau, tidak memiliki hak untuk melepaskan dan memaafkan."
Al-Hajjâj : "Bunuhlah ia!"
Ketika pasukan Al-Hajjâj keluar untuk membunuh Sa'id, tiba-tiba anak Sa'id menangis karena menyaksikan kejadian itu. Sa'id pun menoleh kepadanya seraya berkata, "Kenapa engkau menangis? Apakah bapakmu akan kekal setelah hidup 57 tahun?"
Seorang temannya juga menangis. Sa'id lalu bertanya, "Apa yang membuat engkau menangis?" Temannya itu menjawab, "Karena menyaksikan apa yang menimpamu."
Sa'id berkata, "Tidak usah menangis. Dalam ilmu Allah, sudah ada ketetapan bahwa hal ini akan terjadi." Kemudian ia membaca firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Al-Lauhul Mahfûzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." [QS. Al-Hadîd: 22]
Setelah membaca ayat ini, ia pun tertawa. Orang-orang yang ada di sana pun heran melihat tingkahnya itu. Mereka kemudian memberitahukan hal itu kepada Al-Hajjâj. Al-Hajjâj memerintahkan untuk membawanya kembali ke hadapannya. Setelah Sa'id sampai di hadapannya, Al-Hajjâj bertanya, "Kenapa engkau tertawa?" Sa'id menjawab, "Aku takjub melihat keberanianmu terhadap Allah dan kasih sayang Allah kepadamu."
Mendengar itu, Al-Hajjâj pun berteriak, "Bunuh ia!"
Sa'id lalu membaca firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada Agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." [QS. Al-An`âm: 79]
Al-Hajjâj : "Palingkan ia dari arah kiblat."
Sa'id membaca firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Maka kemana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah." [QS. Al-Baqarah: 115]
Al-Hajjâj : "Telungkupkan wajahnya ke tanah!"
Sa'id membaca firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Dari bumi (tanah) Kami menjadikan kalian dan kepadanya Kami akan mengembalikan kalian, dan darinya Kami akan mengeluarkan kalian pada kali yang lain." [QS. Thâhâ: 55]
Al-Hajjâj : "Potonglah lehernya!"
Sa'id : "Adapun aku, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ambillah ia dariku, wahai Al-Hajjâj, sampai engkau menemuiku dengannya kelak pada hari Kiamat."
Kemudian ia berdoa, "Ya Allah, janganlah beri ia kekuasaan atas seorang pun untuk ia bunuh setelahku."
Sa'id pun gugur sebagai syahid pada tahun 95 H., dalam usia 57 tahun. Ia meninggal dengan lidah yang basah dengan zikir menyebut nama Allah.
[Sumber: Ensiklopedia Keluarga Muslim]