Dikisahkan bahwa suatu ketika, seorang gubernur melanggar sumpahnya, lalu Al-Mundzir ibnu Sa`îd Al-Ballûthi, salah seorang ulama Andalusia yang terkenal, memberikan fatwa untuknya agar (membayar kafarat dengan) berpuasa, bukan dengan memberi makan orang miskin. Orang-orang pun mencelanya, karena telah memberi fatwa yang bertentangan dengan Syariat! Lalu ia pun berkata, kurang lebih, "Memberi makan sangat mudah dilakukan oleh seorang gubernur, sehingga tidak akan membuatnya jera (untuk melakukan kesalahan yang sama). Berbeda dengan puasa yang mengandung efek jera kepada beliau. Sebab, beliau mempunyai banyak harta dan pasti mampu memberi makan orang miskin, tetapi puasa boleh jadi merupakan hal yang sulit bagi beliau. Perkara-perkara ini (kafarat-kafarat) sebenarnya bertujuan untuk memberi efek jera bagi pelakunya, sementara seorang gubernur tidak akan jera dengan selain puasa."Bagaimana hukum fatwa ini dalam timbangan Syariat Islam?
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Kami belum menemukan kisah ini secara spesifik, tetapi kafarat sumpah memang dapat memilih antara tiga hal: memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan seorang budak. Jika pelakunya tidak mampu melakukan salah satu dari tiga hal tersebut, ia harus berpuasa selama tiga hari. Ibnu Qudâmah menjelaskan, "Para ulama telah bersepakat bahwa seorang yang melanggar sumpahnya boleh memilih (satu di antara tiga kafarat): memberi makan, atau memberi pakaian, atau memerdekakan budak. Yang mana saja ia lakukan di antara tiga hal tersebut, kafarat sumpahnya telah dianggap terlaksana, karena Allah menggandengkan ketiga macam kafarat tersebut dengan kata 'atau' yang bermakna boleh memilih. Ibnu Abbas berkata, 'Jika di dalam Kitab Allah terdapat kata 'atau', itu berarti pilihan, dan jika ada kata 'fa man lam yajid (siapa yang tidak menemukan)', itu berarti harus mendahulukan yang pertama atas yang berikutnya (secara berurutan)'. Ini disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab At-Tafsîr." [Al-Mughni]
Tetapi kami baru menemukan kisah yang serupa dengan kisah dalam pertanyaan di atas. Para ulama menceritakan bahwa Yahya ibnu Yahya Al-Laitsi, sahabat Imam Malik, memberi fatwa kepada gubernur Andalusia agar berpuasa sebagai kafarat, karena telah menjimak istrinya di siang hari Ramadhan. Yahya tidak memberikannya pilihan antara: memerdekakan budak, puasa, atau memberi makan, sebagaimana yang ada dalam mazhab Maliki. Lalu para fuqaha yang hadir saat itu bertanya mengapa ia tidak memberikan pilihan untuk sang gubernur. Ia menjawab, "Sungguh, kalau beliau tidak diharuskan berpuasa (sebagai kafarat jimaknya) niscaya ia akan kembali melakukan jimak kemudian memberi makan (sebagai kafaratnya). Karena memberi makan orang miskin tidak memberatkannya sedikit pun, berbeda dengan puasa yang akan memberatkan dan melelahkannya, sehingga ia akan merasa jera (melakukan kesalahan serupa)."
Pendapat jumhur (mayoritas) ulama adalah bahwa penunaian kafarat dalam hal ini dilakukan secara berurutan juga.