Lima tahun yang lalu, suami saya meminum khamr (minuman keras) di siang hari bulan Ramadhân, dan ia belum pernah meng-qadhâ' puasanya itu sampai sekarang. Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana ia menghapuskan dosa tersebut? Untuk diketahui, ia melakukan perbuatan itu hanya satu hari, dan setelah melakukannya, ia kembali melanjutkan puasanya. Tapi ia tidak meninggalkan kebiasaan meminum khamr di luar bulan Ramadhân. Saya memohon kepada Anda untuk sudi mendoakannya agar mendapat hidayah dan meninggalkan perbuatan dosa tersebut.
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Kami berdoa semoga Allah memberikan hidayah kepada suami Anda, karena sesungguhnya meminum khamr merupakan salah satu dosa besar yang membinasakan, na`ûdzubillâh. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—bersabda:
"Jauhilah khamr, karena ia adalah kunci segala keburukan." [HR. Al-Hâkim; Menurut As-Suyûthi: shahîh]
"Pecandu khamr bagaikan penyembah berhala." [HR. Abu Nu`aim; Menurut As-Suyûthi: Shahîh]
"Tiga golongan yang Allah haramkan Surga untuk mereka: Pecandu khamr, anak durhaka, dan laki-laki 'dayyûts' yang membiarkan keburukan di tengah keluarganya." [HR. Ahmad]
Hadits-hadits yang mencela khamr dan orang yang meminumnya sangat banyak. Cukuplah sebagai peringatan bagi peminum khamr bahwa ia dilaknat oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ. Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam—telah melaknat 10 hal yang berhubungan dengan khamr, di antaranya adalah orang yang meminumnya.
Kami mengajak suami Anda untuk segera bertobat nasuha sebelum datang hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya.
Adapun berbuka puasa pada siang hari bulan Ramadhân, sudah tentu itu merupakan kesalahan dan dosa yang sangat besar. Dosa itu menjadi semakin besar karena yang digunakan untuk membatalkan puasanya adalah khamr yang peminumnya dilaknat oleh Allah. Semoga Allah menyelamatkan kita semua.
Kewajiban suami Anda sekarang adalah bertobat kepada Allah dari dosa kesengajaannya membatalkan puasanya itu, disertai dengan meng-qadhâ' puasa hari tersebut. Ia juga harus memberi makan satu orang miskin atas keterlambatan meng-qadhâ' puasa itu selama ini, sementara ia mampu melaksanakannya, kecuali jika ia tidak tahu keharaman menunda qadhâ' sampai datang Ramadhân berikutnya.