Seorang kerabat saya diuji Allah dengan penyakit diabetes dan darah tinggi. Ia juga sekarang hidup dengan satu ginjal. Dokter menyuruhnya untuk tidak berpuasa, karena berbahaya untuk kesehatannya. Ia kemudian meminta uang kepada suaminya untuk memberi makan orang miskin sebagai fidyah puasanya, tetapi suaminya tidak bersedia, sementara ia sendiri tidak mempunyai harta untuk membayar fidyah itu. Karena itu, ia tidak berpuasa Ramadhân dan tidak juga dapat memberi makan orang miskin. Bagaimana hukumnya? Apa yang harus ia lakukan dalam kondisi seperti ini?
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Jika penyakit yang diderita oleh kerabat Anda itu adalah penyakit yang masih ada harapan sembuh, ia wajib menunggu sampai Allah—Subhânahu wata`âlâ—menyembuhkannya dan ia mampu meng-qadhâ' puasanya, berdasarkan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Maka barang siapa di antara kalian menderita sakit atau sedang berada dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah ia berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain." [QS. Al-Baqarah: 184]
Sedangkan jika penyakit yang ia derita tidak lagi dapat diharapkan kesembuhannya, maka ia wajib memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ia tinggalkan. Ukurannya adalah sebanyak satu mud makanan pokok. Kafarat (fidyah) ini wajib dikeluarkan dari hartanya sendiri jika ia mempunyai harta, dan suaminya tidak berkewajiban membayarkannya. Jika ia tidak mempunyai harta untuk membayarnya, fidyah itu tetap menjadi tanggungannya menurut pendapat banyak ulama, sehingga kapan saja ia mempunyai uang, ia harus membayarnya. Ia tidak berdosa menunda fidyah itu, karena ia memang belum mampu. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya):
· "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." [QS. Al-Baqarah: 286];
· "Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian." [QS. At- Taghâbun: 16]
Al-Bahûti berkata di dalam kitab Kasysyâful Qinâ`, "Kewajiban memberi makan orang miskin (fidyah) bagi orang yang tidak mampu berpuasa karena usia lanjut atau karena sakit yang masih ada harapan sembuh, tidak gugur disebabkan ketidakmampuan melakukannya, sama seperti fidyah haji, sehingga kapan saja ia mampu, ia harus menunaikannya."
Sementara sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban fidyah menjadi gugur dalam kondisi seperti ini, karena fidyah diwajibkan bukan karena kesalahan seorang hamba, sehingga ia menjadi gugur ketika si hamba kesulitan melaksanakannya. Pendapat inilah yang dipandang kuat oleh Imam An-Nawawi—Semoga Allah merahmatinya—dalam kitab Al-Majmû`.